Cerpen : Sapu di Ujung Lorong


A
ku melangkahkan kedua kakiku menuju ruang kelasku di lantai dua.Suasana sekolah pagi itu masih sangat sepi. Hentakan sepatuku bergema di dinding-dinding jalan menuju kelas.Aku menikmati suara itu bagaikan music ritmis di pagi hari yang dibuat tanpa suatu partitur.
Aku berharap teman-temanku sudah sampai di kelas sebelum aku.Dan aku benar.Di dalam kelas ada satu teman perempuanku duduk di bangku urutan ke-empat.Dia tetap sama dengan penampilannya.Rambut hitam yang dikucir ekor kuda dan ujung-ujungnya dimiringkan sehingga menyentuh bagian pundak kanannya saja.Aku dan teman sebangkuku menjulukinya sebagai “super model” di kelas kami karena penampilannya yang selalu menarik semua orang untuk melihatnya bagaikan magnet semua mata.
“Pagi.” Sapaku sambil mencoba untuk ramah padanya. “Oh Hai.” Sapanya singkat tanpa memandangku.Itu sudah biasa. Di Acuhkan teman-temanku adalah hal yang biasa untuk seorang ketua kelas yang ‘sombong’ sepertiku.Aku meneruskan perjalananku yang hanya memerlukan satu menit dari pintu ke bangkuku.
Hanya ada kami berdua waktu itu.Waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 dan teman-temanku yang lain mulai datang. Tibalah sekelompok “super model” menghampiri teman magnetku itu.Mereka mulai bercanda tawa dengan pembicaraan mereka sendiri.Di hari itulah,di detik itulah aku merasakan terpisahkan jauh dari teman-temanku, diantara kami bagaikan ada jurang curam yang memisahkan.Aku tidak dianggap sebagai makhluk berdarah panas yang memiliki proses oksidasi biologi dalam tubuhku.Bahkan berkata “Hai” pun tidak terdengar oleh mereka.
Tibalah jam dimana pelajaran Musik harus segera dimulai namun kami tidak melihat guru yang datang. Kami menunggu sekitar 5 menit lamanya .Tetap hasilnya Nihil.Tidak ada guru yang datang.Maka aku memutuskan untuk mencari informasi tentang guru music kami dan tugas kami.
Aku kembali ke kelas setelah mendapatkan tugas dari guru kami.Aku hanya berharap tinta yang menempel di kertas tugas itu dapat menenangkan kelas.”Teman-teman!” aku mencoba mengalihkan perhatian teman-temanku.Aku bagaikan berteriak di tengah lautan sedangkan teman-temanku berada di tepi pantai. Tidak ada yang mendengarkanku. Hanya barisan pertamalah yang mendengarku namun tidak mendengarkanku.
Aku memutuskan untuk menulis tugas itu di papan tulis putih yang belum sempat dibersihkan dari rumus-rumus fisika yang masih menampilkan diri mereka kepada teman-teman.Di manakah petugas kebersihan saat itu? Aku pun tidak tahu kemana pikiran,mata,dan hati mereka berlari meninggalkan tugas mereka.
Inilah saatnya aku menggoreskan kata-kata Dikumpulkan dibawah daftar tugas.Kata itulah yang membuat semua teman-temanku tercengang.”Dikumpulkan? Kau tidak salah? Bagaimana caranya kita dapat menyelesaikan semua tugas itu dalam waktu 40 menit?” salah satu murid bertanya padaku. Sontak hampir seluruh isi kelas.Tepatnya kelompok “super model” lah yang memaksakan tenggorokan mereka sendiri untuk berkicau sekeras-kerasnya. “Kerjakan saja jangan membantah!” tegasku dengan nada yang santai.Aku tahu,aku merasakan cibiran di bibir mereka sambil mengangkat bahu mereka .
“Selesai.Huh.” desahku saat aku berhasil menyelesaikan tugas-tugas itu. Aku memutar  bola mataku ke arah teman-temanku yang ramai.Sangat ramai dengan alat music mereka.Aku akan menghargai jika mereka memainkan satu lagu dengan paduan nada yang indah.Namun tidak untuk satu lagu dengan ritme ‘Canon’ yang berantakan.”Teman-teman, simpan alat music kalian jika kalian belum selesai.” Teriakku.Aku berkata seperti itu karena aku melihat kertas mereka yang putih bersih seperti hati bayi yang baru lahir .Tanpa noda.”Teman-teman.” Percuma.Tidak ada tanggapan dari mereka.
“Kumohoh Diam!” kataku dengan nada yang keras dan tinggi.Semua diam.Para super model itu diam.Para laki-laki diam.Bahkan angin yang bertiup pun ikut terdiam.Aku melihat semua terdiam dan mengerjakan tugas mereka. Aku cukup puas dengan suasana ini. Hening. Tidak ada ritme ‘canon’ berantakan di kelas ini.
Di 10 menit terakhir, aku mendengarkan suara seseorang yang memanggil namaku.Dia salah satu dari para super model itu.Namun dialah yang pagi itu bersamaku.”Eh,aku kesulitan di soal ini.Tolong bantu aku.” . Hatiku serasa terpukul. ‘Dia’ yang selalu mengacuhkan aku tiba-tiba saja meminta pertolonganku.Sesuatu hal yang memukul. Dia jauh dariku saat dia menganggapku tidak berguna.Namun Dia datang padaku saat dia membutuhkanku. Aku merasa diriku hanyalah sapu yang tersender di dinding ujung lorong yang hanya diperhatikan dan dianggap saat diperlukan.
“Maaf aku tidak bisa membantu.” Kataku dengan nada suara yang cukup menyindir tanpa melihat soal apa yang dia tunjukkan padaku. Tanpa basa-basi, di berbalik, mengibaskan ekor kuda hitam nya yang bergerak bagaikan ditiup angin siang di pantai . Aku tahu dia kesal. Tatapan matanya yang tajam dan menusuk dapat kurasakan walau aku tidak menatapnya.
Saat  jam istirahat, aku menghantarakan segunung tugas yang telah kukumpulkan ke ruang guru. Saat aku berjalan menaiki tangga, aku bertemu dengan para super model kelasku.Mereka memang tidak menatapku.Namun hati mereka melirik ke arahku dengan sinis.Aku hanya dapat mengucapkan kata “Hai” dan memaksakan senyuman yang kucoba kulukis di wajahku. Mereka membisu.Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pita suara mereka sehingga membuat mereka tidak bersuara.
Aku tahu.Inilah resiko yang harus kutanggung sebagai ketua kelas yang ‘Sombong’.Diacuhkan teman-temanku.Dijauhi teman-temanku.Dan tak dianggap bagaikan sapu di ujung lorong. Bahkan sampai detik ini.
Namun disinilah aku belajar bahwa hari ini dan esok biarkan mereka mengacuhkanku.Namun suatu saat nanti, aku akan melihat mereka akan datang padaku dan memandangku sebagai sapu yang berharga bukan lagi sebagai sapu di ujung lorong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman TPKS Binus University 2016 (2017/2018)

Cerpen : Kisah seorang lelaki tua